-->

Type something and hit enter

On
Oleh: Musyfiqur Rahman
Santri Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Latee, Guluk-Guluk Sumenep


Judul: Turki yang Tak Kalian Kenal!
Penulis: Bernando J. Sujibto, dkk.
Penerbit: IRCiSoD (Diva Press), Jogjakarta
Cetakan: Pertama (November 2017)
Tebal: 312
ISBN: 978-602-7696-37-2

Membayangkan hidup atau sekedar berlibur dan berkunjung ke sebuah negara di dua benua dengan segala panorama, estetika dan rekam jejak sejarah yang sejak dulu terbentang silih berganti dari generasi ke generasi, sungguh merupakan impian banyak orang, apalagi gratisan, terutama kawula muda yang dalam beberapa tahun terakhir banyak berburu beasiswa untuk melanjutkan studi ke negeri yang terus melebarkan sayap-sayapnya dalam segala sektor untuk bersaing bersama negara-negara maju dalam percaturan internasional.

Bukan tanpa alasan banyak pelajar mengimpikan belajar di Turki. Turki memiliki ragam budaya yang selalu menarik untuk terus dikaji dan dipelajari. Interaksi antara budaya Turki dengan budaya Indonesia menjadi hal yang niscaya. Mengingat, perjalanan Turki dalam membangun identitas, semangat dalam menjunjung tinggi sikap dam rasa nasionalisme terasa lebih matang dan lebih total dari bangsa Indonesia. Maka tak heran jika ketegasan Turki dalam memposisikan diri di tengah-tengah pertarungan budaya dalam skala global, berdampak secara signifikan dalam menjaga keutuhan budayanya dan menempatkan pengaruh terhadap budaya-budaya lain.

Memang tak mudah untuk mengenal Turki dari berbagai sisinya jika hanya mengandalkan informasi melalui media sosial dan situs-situs Turki penyedia beasiswa yang bisa ditemukan dengan mudah dalam jagat internet. Terkadang, informasi yang tersaji secara mudah untuk diakses tak banyak memberikan fakta-fakta nyata. Oleh karena itu, melalui buku ini, Turki yang Tak Kalian Kenal!, yang ditulis oleh Tim Turkish Spirits dengan Bernando J. Sujibto sebagai kurator, cukup akurat dan otoritatif sebagai bahan bacaan informasi yang menyajikan banyak hal tentang Turki secara lebih mendalam dan cukup memuaskan.

Buku ini disusun dan diurut secara sistematis menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas tentang Identitas dan Nasionalisme, bagian kedua membahas seputar Negara, Politik dan Kekerasan, dan bagian ketiga mengupas tentang Budaya dan Agama.

Yang paling menarik untuk disoroti adalah semangat masyarakat Turki dalam mewujudkan sikap nasionalisme. Sebagai contoh, dalam tradisi Indoensia, kita belum menemukan orang yang ketika mendengarkan lagu Indonesia Raya dilantunkan baik melalui siaran radio atau televisi atau bahkan sebelum pertandingan sepak bola berlangsung, dengan penuh khidmat berdiri sebagai bentuk penghormatan pada lagu kebangsaannya. Hal ini yang membedakan antara Indonesia dan Turki dalam semangat nasionalisme. Di Turki, lagu kebangsaan mejadi segala penghormatan. Sehingga manakala lagu kebangsaan mereka, İstiklâl Marşı dilantunkan, maka dimanapun dan dalam kondisi apapun, seorang Turki harus menunjukkan sikap khidmat dengan berdiri sepenuh hati (hlm. 38).

Tak hanya itu, hadirnya budaya Turki secara masif ke Indonesia, dengan ditandai masuknya beberapa drama, seperti serial Abad Kejayaan, Zahra, Elif dan Cinta di Musim Cherry, cukup mendapatkan sambutan positif dari para penonton di Indonesia (hal. 88). Drama-drama yang banyak ditayangkan oleh Turki menjadi cerminan Turki itu sendiri dalam hal budaya. Sehingga proyeksi internalisasi budaya Turki ke berbagai negara akan mampu bersaing dengan negara sekelas Amerika, Jepang dan Korea.

Di sinilah kehebatan Turki, terus melakukan pembenahan dan pembangunan infrastuktur serta pelestarian tradisi dan nilai-nilai yang kemudian dengan mudah mempengaruhi budaya lain. Di antara upaya Turki dalam menjaga dan melestarikan budaya yang menjadi ciri khas dan kekayaan mereka adalah membentuk sikap tegas dengan membangun kebanggan pada budaya, identitas dan jati diri mereka sebagai orang Turki. Hal inilah yang diajarkan oleh Mustafa Kemal Atatürk sejak awal abad 20.

Perubahan paling signifikan yang dialami Turki adalah pasca orasi Atatürk di hadapan rakyatnya pada 29 Oktober 1933, bertepatan dengan 10 tahun perayaan berdirinya Republik Turki. Atatürk secara tegas dan terbuka menyatakan kebanggaannya menjadi orang Turki atau yang lebih dikenal dengan NMTD (Ne Mutlu Türküm Diyene) atau dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti "Betapa Bahagianya Seorang yang Menyebut Dirinya Aku Orang Turki" (hlm. 25).


Memang Turki adalah negara sekuler sebagaimana yang diinginkan Atatürk sendiri sebagai pendiri Republik Turki. Hanya saja sejak Resep Tayyip Erdoğan berkuasa, nilai-nilai dan tradisi keislaman yang dulu pernah bergema di Turki, secara perlahan mulai dihidupkan kembali. Sebab, pada kenyataannya, Turki tidak benar-benar bisa sepenuhnya menjadi negara sekuler. Mengingat masyarakat Islam di negara bekas Ottoman tersebut hingga saat ini tetap kuat dalam tradisi mereka. Dan upaya melepaskan unsur-unsur keagamaan dari tatanan negara memang untuk sementara bisa dilakukan. Tetapi hal itu bukan berarti mampu membunuh keniscayaan yang tak bisa ditolak bahwa banyaknya gerakan-gerakan spritual di Turki, terutama di Konya—tempat pusara sang agung Maulana Rumi—adalah sesuatu yang benar-benar berbeda yang tak mungkin bisa dijangkau apalagi bisa dibungkam oleh upaya apapun yang mengatasnamakan sekularisme.
Post a Comment
Click to comment
 

MARI BERLANGGANAN!