-->

Type something and hit enter

On

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berakar dari budaya masyarakat Indonesia (Asrohah, 2004: 61). Embrio pembentukannya tidak lepas dari struktur suatu masyarakat, gerak sosial dan resepsi psikologis mereka. Sebagai lembaga tradisional yang tumbuh di tengah-tengah budaya bangsa yang plural, pesantren banyak mengalami asimilasi tradisi dan akulturasi budaya. Pesantren hadir dan mewujud dalam setiap dimensi kultural Indonesia tidak hanya sebagai pembawa panji otoritas “halah-haram” yang memberi label pada lapisan formal belaka, tetapi jauh menembus lapisan paling fundamental yaitu mewariskan semangat mengabdi dan tentunya sebagai benteng pertahanan NKRI.

Tentu saja di balik semua sistem dan tata kelola yang berjalan secara simultan, selain figur kiai sebagai tokoh paling sentral, ada satu perangkat lain yang tak kalah penting, yaitu pengurus pesantren. Mereka adalah pemangku jabatan yang bertugas sebagai pelaksana segala kebijakan. Mulai dari kebijakan paling strategis seperti proses bimbingan intelektual-keteladanan dan penerapan sanksi hingga hal-hal substansial seperti latihan kedisiplinan, membiasakan ramah lingkungan dan menghargai multikulturalisme. Belum lagi komunikasi interaktif dengan masyarakat setempat, para wali santri hingga seluruh alumni perlu terus dibangun agar mencapai satu titik pemahaman integral. Dengan demikian, pengurus pesantren benar-benar menjadi manifestasi dari titah agung sang kiai.

Seiring waktu berlalu, dinamika kehidupan modern sebagai dampak dari tatanan global yang didominasi oleh teknologi dalam laju gerak secara masif mengantarkan pada dunia baru yang dikenal sebagai era digital. Era ini telah banyak menjungkirbalikkan tatanan moral dan nilai-nilai kemanusiaan. Dan secara perlahan, imbasnya turut dirasakan pondok pesantren. Sehingga tantangan yang dihadapi (pengurus) pesantren dalam menyikapi pelbagai persoalan semakin kompleks. Belum lagi wacana-wacana ideologis dan politis yang terus dikumandangkan dalam linimasa media sosial tak jarang melahirkan reaksi dan berujung pada aksi yang tak berkesudahan.

Global village, sebuah ilustrasi yang digambarkan oleh Marshal McLuhan untuk menegaskan bahwa kemajuan yang dicapai manusia melalui teknologi telah menyulap dunia menjadi desa kecil, justru dampaknya sangat problematis. Betapa tidak, ketika teknologi telah berdaulat melampaui kesucian nurani manusia, maka yang akan lahir adalah manusia-manusia oportunis. Dan pesantren, sebagai lembaga yang di satu sisi dituntut untuk konsisten pada pribumisasi nilai-nilai tradisional (al-muhâfadzah ‘alâ al-qadîm al-sâlih), tetapi secara bersamaan justru harus melakukan inovasi gagasan dan rekonstruksi budaya dengan ide-ide kreatif (al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah), ternyata belum mampu memberikan jawaban yang berimbang. Salah satu faktor utama karena pengurus, sebagai penyelenggara amanat kiai, akhir-akhir ini lebih banyak menghadapi benturan-benturan eksternal. Sehingga beban psikologi yang harus mereka pikul nyaris menguras tenaga dan pikiran. Salah satunya masalah perlindungan anak.

Sejak awal mula disahkan Undang-undang Perlindungan Anak No. 23, Tahun 2002 hingga mengalami perubahan melalui Undang-undang No. 35, Tahun 2014, banyak rentetan kejadian memilukan silih berganti menghantam dunia pendidikan. Meskipun undang-undang tersebut secara de jure bisa dibilang berhasil menyikapi persoalan diskriminasi dan pelecehan terhadap anak, tapi secara de facto justru menegaskan perihal lain yang lebih mengerikan sedang terjadi di luar kesadaran bersama, yaitu runtuhnya relasi harmoni antara orang tua dan guru sebagai cerminan bagi anak didik. Hingga berkali-kali memicu konflik dan berujung pada pelaporan guru dengan delik tindakan kekerasan anak.

Ketika para guru lembaga formal sedang menghadapi begitu banyak persoalan serius, maka pengurus pesantren tak kalah kewalahan akibat dampak dari wacana perlindungan anak yang terlalu lantang mengemuka. Sebab undang-undang yang dirancang untuk menjaga dan melindungi anak tiba-tiba berbalik arah menjadi senjata untuk mendiskriminasi para guru. Dan posisi pengurus pesantren lebih tinggi dari pada guru dalam pendidikan formal, sebab ia tidak hanya melakukan transformasi keilmuan, tetapi hidup bersama, memberi pengayoman dan mencurahkan kasih sayang tanpa mengenal waktu serta melakukan pengawasan sejak bangun tidur hingga tidur kembali.

Meski demikian, seringkali muncul reaksi berlebihan dari wali santri sebagai bentuk protes ketika anaknya mendapatkan sanksi dari pengurus, terutama bagian yang menangani keamanan dan ketertiban. Bahkan tanpa ragu, pihak pelapor langsung mengadu kepada kiai dengan mengabaikan fungsi pengurus yang sejatinya memang mandat dari kiai. Seolah ingin bertuhan tapi tidak melalui nabi. Tentu saja akan menimbulkan chaos dan ketegangan alih-alih kegaduhan. Hal itu tentu sangat bertolak belakang dengan spirit yang bisa diteladani melalui hubungan guru-murid dan santri-pengurus dalam tradisi klasik.

Tetapi sekeras apapun serangan dan hantaman bertubi-tubi yang harus ditanggung oleh pengurus pesantren, nyatanya mereka tetap bersabar dan semangat pengabdian mereka kepada kiai tidak pernah surut. Mereka akan mengorbankan apapun demi tegak dan keberlangsungan pondok pesantren. Makanya para kiai, biasanya membekali para pengurus dengan beberapa amalan khusus sebagai riyadhah sekaligus benteng pertahanan diri dalam menghadapi segala persoalan hingga kemungkinan paling buruh sekalipun. Bahkan banyak pengurus pesantren rela menunda urusan jodoh demi mengurus santri dan mengabdi pada kiai. Wallahua’lam.

Dimuat di Radar Madura, 05 November 2018
Post a Comment
Click to comment
 

MARI BERLANGGANAN!