-->

Type something and hit enter

On

Judul: Sejarah Otentik Politik Nabi Muhammad Saw.
Penulis: Prof. Dr. Husain Munis
Penerbit: Pustaka IMaN, Tangerang Selatan
Cetakan: Pertama, Agustus 2019
Tebal: 294 hlm.
ISBN: 978-602-8648-30-1

Salah satu mata air keteladanan yang tidak pernah habis ditimba oleh umat manusia dari kehidupan Nabi Muhammad—selain nilai-nilai cinta dan kasih sayang—adalah dimensi historis bagaimana Nabi bertindak sebagai kepala negara yang mencerminkan nilai-nilai politik santun, ramah, berdedikasi dan demokratis. Bahkan dimensi politik sang Nabi merupakan bidang kajian yang paling relevan untuk terus dieksplorasi lebih dalam lagi sebagai sumber rujukan dalam realitas politik masa kini.

Buku yang ditulis oleh seorang intelektual dan sejarawan berkebangsaan Mesir ini memberikan telaah historis perihal kehidupan Nabi dan interaksinya secara dialektis dalam pembentukan negara Madinah. Hal tersebut ditandai dengan proses peletakan dasar-dasar kultural dan perumusan peraturan-peraturan sebagai basis utama untuk menciptakan intelegensia baru, dengan semangat berperadaban serta menjunjung tinggi asas-asas kemanusian dalam bingkai hubungan kekeluargaan yang terjalin antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Dengan merujuk kehidupan Nabi, Husain Munis secara cermat membangun analisisnya bahwa persoalan kepemimpinan dan lahirnya seorang pemimpin yang baik tak lain adalah cerminan dari masyarakat yang baik pula. Bagaimana kesabaran Nabi Muhammad melewati berbagai prahara menghadapi masyarakat Quraisy yang menentang hingga nyaris mencelakakannya. Kemudian akhirnya datang sekelompok masyarakat dari Yatsrib untuk menyatakan masuk Islam sekaligus membuat ikatan sumpah setia untuk menjadi pelindung Nabi dalam setiap suka dan duka (hlm. 42).

Bila ditelisik lebih jauh, faktor keterpilihan Yatsrib (Madinah) sebagai latar tempat pembangunan peradaban tentu bukan semata-mata karena Nabi secara pribadi menginginkannya, melainkan karena masyarakat Madinah sendiri yang sejak awal meminta Nabi untuk hadir dan menjadi bagian dari mereka sekaligus mereka menjadi bagian dari Nabi (hlm. 142). Atas dasar inilah kemudian bisa dipahami bahwa proses pembangunan negara yang baik tak lepas dari kedekatan hubungan yang terjalin secara harmoni dan penuh saling percaya antara pemimpin dan masyarakat.

Refleksi inilah oleh Husain Munis diolah dalam perspektif baru dan relatif segar. Menghadirkan mosaik-mosaik pengalaman politik Nabi secara integral, lalu membentuk pola-pola kesadaran dalam kehidupan para sahabat sebagai generasi pertama penerima wahyu sekaligus pihak yang terlibat langsung dalam pembentukan fondasi negara Madinah bersama Nabi. Uniknya, Nabi tidak pernah memosisikan sahabat sebagai bawahan, melainkan sebagai mitra kerja dan mitra diskusi dalam berbagai hal penting seputar kenegaraan dan ekspedisi. 

Cara berpolitik Nabi menggambarkan etos kerja yang tidak main-main, penuh dengan spirit pengabdian, tak mengenal pamrih dan bertindak secara proporsional. Para sahabat yang hadir sebagai mitra merasakan betapa seluruh kehidupan Nabi adalah semata-mata perjuangan. Dan mereka mengambil keteladanan dari seluk beluk kehidupan Nabi, terutama bagaimana cara Nabi mengatur persoalan-persoalan politik menyangkut hubungan antara sesama umat Islam atau dengan kalangan minoritas Yahudi Madinah.

Sehingga sejak awal, bahkan sejak proses penyusunan fondasi utama dalam sistem politik negara, yaitu Piagam Madinah, Nabi telah mencerminkan betapa ia begitu menjunjung tinggi semangat pluralisme beragama. Bahwa perbedaan yang terjadi karena faktor agama tidak lantas membuat umat Islam bertindak sewenang-wenang terhadap kalangan Yahudi, selama mereka masih menjunjung tingga nilai-nilai kemanusian sebagaimana telah menjadi kesepakatan bersama. Sehingga, sulit untuk menemukan celah dalam gaya berpolitik Nabi yang sejak awal begitu menghormati perbedaan dan menjunjung asas kesantunan.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Nabi menjadikan masjid sebagai tempat untuk konsolidasi. Masjid, bagi umat Islam tidak hanya sekedar tempat melangsungkan ibadah ritual, melainkan juga ibadah sosial sebagai basis utama mengokohkan tali persatuan untuk mewujudkan visi-misi peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Bahkan kalau dicermati melalu sumber-sumber historis, jelas bahwa Masjid Nabawi tak lain adalah ibu kota bagi sebuah tata kelola negara yang bernama Madinah (hal.162).

Hal yang demikian ini mempertegas betapa terjalinnya komunikasi interaktif antara Nabi dan para sahabat sudah dibangun sedemikian rupa dalam sistem yang telah tertata begitu integral. Terbentuknya masyarakat berperadaban dalam jangka waktu yang relatif singkat menunjukkan bahwa fondasi utama pembentukan negara tak lain mencerminkan nilai-nilai politik Nabi yang berintegritas. Selain itu, politik Nabi sebagaimana diuraikan dalam buku ini mencerminkan politik kesantunan dan demokratis. Sikap politik ini juga masih terus dipertahankan hingga periode awal khulafa rasyidun. Wallahualam.

Dimuat di Kabar Madura, Jumat, 17 Januari 2020 dengan judul "Berpolitik Santun Ala Nabi".

Post a Comment
Click to comment
 

MARI BERLANGGANAN!