-->

Type something and hit enter

On

 


Khilafah yang diyakini sebagai sistem pemerintahan Islam pada dasarnya tak punya preferensi khusus. Dasar pemerintahan dalam Islam adalah keadilan dan tercapainya maqashid al-syariah (tujuan-tujuan syariat). Selebihnya, tak ada nash khusus yang tegas, jelas dan lugas perihal kewajiban umat Islam menjalankan sistem pemerintahan dengan dasar khilafah secara kaku seperti yang dibayangkan kelompok islamis tertentu.

 

Sejarah pun telah mencatat bahwa khilafah merupakan istilah teknis untuk menyebut sistem pemerintahan. Terbukti dalam berbagai periode kepemimpinan, sistem yang disebut khilafah selalu mengalami adaptasi dan modifikasi sesuai dengan ruang dan waktu, baik sejak era al-Khulafa’ al-Rasyidun hingga pada periode Turki Utsmani di era modern. Karakternya yang sangat adaptif itu mencerminkan fleksibelitas ruang-ruang ijtihad dari masing-masing periode.

 

Jurji Zaidan dalam bukunya, al-Lughah al-‘Arabiyyah Kain Hayy menjelaskan bahwa representasi otoritas kekuasaan pra-Islam dipegang oleh pemuka Quraisy. Pada masa itu, istilah-istilah teknis yang biasa dipakai untuk mengatur tatanan dan sistem sosial mereka cukup beragam, ada al-sadanah (pengabdian pada Ka’bah), al-siqayah (mengatur kebutuhan minum), al-rifadah (memberi santunan), al-qiyadah (otoritas kepemimpinan), al-masywarah (musyawarah), al-sifarah (diplomasi), dan semacamnya.

 

Dari seluruh istilah teknis yang digunakan dalam sistem sosial di masyarakat pra-Islam, tak ada istilah khilafah yang menggambarkan otoritas kekuasaan tertentu. Term khilafah baru muncul dalam hadis Nabi: khilafah al-nubuwwah ba’di tsalatsuna sanah (Khilafah Nubuwwah setelah masaku berlangsung selama 30 tahun) dan hadis-hadis lainnya dengan redaksi yang serupa.

 

Namun di sini perlu dicatat, bahwa hadis-hadis yang berbicara tentang khilafah masih menjadi perdebatan dalam berbagai diskursus keilmuan, baik dalam khazanah ulama klasik maupun dalam khazanah ulama kontemporer. Sehingga hadis-hadis tersebut harus dipahami dan didudukkan secara proporsional. Mungkin dalam kesempatan lain, saya akan membahas hadis-hadis tentang khilafah secara spesifik.

 

Tak hanya itu, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya justru meyakini bahwa kemurnian khilafah hanya berlangsung selama periode kepemimpinan Abu Bakar hingga akhir periode kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Ini artinya, periode keemasan dalam sejarah Islam hanya berlangsung kurang lebih selama 30 tahun, jika dilihat dari aspek penyelenggaraan negara yang relatif ideal pada masanya. Setelah kekuasaan beralih ke tangan dinasti Umayyah dan Abbasiyah, nilai-nilai politik, hukum dan ketatanegaraan mengalami perubahan yang sangat drastis.

 

Setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar diangkat sebagai pengganti Nabi untuk melanjutkan kepemimpinan umat Islam. Dalam bahasa Arab, orang yang menggantikan posisi orang sebelumnya itu disebut khalifah, dari akar kata kha-la-fa (bisa diihat dalam Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzur). Term khalifah yang disematkan kepada Abu Bakar semata-mata karena ia menggantikan peran Nabi untuk mengatur kepentingan umat Islam. Dan hanya Abu Bakar satu-satunya pemimpin dalam Islam yang berhak menyandang sebutan khalifah. Karena dialah pengganti Nabi dalam kepemimpinan.

 

Sementara para pemimpin Islam setelah Abu Bakar, tak ada yang disebut khalifah, mereka disebut dengan panggilan Amirul Mukminin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Riyadh al-Nadhrah fi Manaqib al-‘Asyrah karya Ahmad bin Abdullah bin Muhammad al-Thabari bagaimana asal-muasal panggilan Amirul Mukminin bagi pemimpin umat Islam pasca Abu Bakar.

 

Dikisahkan oleh Zubair bahwa ketika Umar dibaiat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, ia mengeluhkan panggilan khalifah yang disematkan pada dirinya. Sebab dia bukanlah khalifah (pengganti Nabi), melainkan khalifah khalifati Rasulillah (pengganti penggantinya Rasul). Sementara yang akan menggantikan Umar kelak akan menjadi Khalifatu Khalifati Khalifati Rasulillah (orang yang menggantikan penggantinya pengganti Rasul). Dan panggilan seperti itu menjadi sangat tidak efektif karena terlalu panjang.

 

Maka datanglah usulan dari al-Mughirah bin Syu’bah untuk mengganti panggilan khalifah dengan panggilan baru, yaitu Amirul Mukminin. “Engkau adalah Amir (pemimpin) kami dan kami adalah orang-orang beriman (mukminin), maka engkau adalah Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman).” Kata al-Mughirah pada Umar. Dan sejak saat itu, Amirul Mukminin menjadi panggilan resmi pemimpin tertinggi umat Islam yang disepakati oleh para sahabat.

 

Dalam versi yang berbeda, datang dari riwayat al-Syifa, salah satu perempuan pertama yang ikut hijrah ke Madinah. Ia menceritakan awal mula panggilan Amirul Mukminin menjadi panggilan resmi untuk menyebut pemimpin tertinggi umat Islam. Menurutnya, pada suatu ketika Umar bersurat pada gubernur Irak untuk mengirimkan dua orang cerdas dan bijak yang bisa ditanya banyak hal tentang Irak. Lalu sang gubernur tersebut mengutus Labid bin Rabi’ah al-‘Amiri dan ‘Adi bin Hatim al-Thai.

 

Setibanya di masjid Nabawi, mereka berjumpa dengan ‘Amr bin al-Ash. “Kami mohon izin untuk dipertemukan dengan Amirul Mukminin, wahai ‘Amr.” Kata mereka meminta izin. “Yang kalian berdua ucapkan barusan itu benar sekali. Kita ini adalah orang-orang beriman (mukminin) dan Umar adalah Amir (pemimpin) kita.” Jawab ‘Amr penuh kegirangan lalu bersegera menemui Umar dan memanggilnya untuk pertama kali dengan sebutan Amirul Mukminin.

 

Namun Umar justru bingun dan heran dengan panggilan baru itu, “Panggilan macam apa ini?”. ‘Amr pun menjelaskan bahwa panggilan tersebut ia dapatkan dari Labid dan ‘Adi yang datang untuk menghadap kepadanya. Sejak saat itulah seluruh dokumen kenegaraan secara resmi menggunakan Amirul Mukminin untuk menyebut pemimpin tertinggi mereka, tak terkecuali Utsman dan Ali. Wallahua'lam.


Catatan:

Tulisan ini dimuat pertama kali di web islamkaffah.id pada tanggal 11/02/2023 dengan judul yang sama.

 


Post a Comment
Click to comment
 

MARI BERLANGGANAN!