Di tengah melemahnya pengaruh Amerika Serikat di Timur
Tengah, China muncul sebagai patron baru yang relatif bisa dipercaya dan
diandalkan oleh negara-negara di kawasan. China memang kerap kali mencitrakan
dirinya sebagai antitesis dari rival terkuatnya, AS yang selalu menggunakan
pendekatan militer-destruktif dalam berbagai konflik di Timur Tengah. Negara
tirai bambu itu berupaya habis-habisan agar bisa mendulang banyak simpati dari
para penguasa di Timur Tengah lewat pendekatan diplomasi dan iming-iming kerja
sama di bidang ekonomi.
Berbagai kebijakan luar negeri dan langkah strategis
yang dilakukan oleh China terhadap negara-negara di Timur Tengah terbukti banyak
berhasil. Baru-baru ini, pada hari Jumat, 10 Maret 2023, bertepatan dengan
dilantiknya Xi Jinping sebagai presiden untuk jabatan periode ketiga, China
merayakan salah satu pencapaian terbesarnya dengan gegap gempita setelah berhasil
memotori rekonsiliasi antara Arab Saudi dan Iran, dua negara yang punya
rivalitas panjang dalam berbagai isu sensitif dan konflik regional.
Rekonsiliasi ini menandai babak baru kehadiran China di
Timur Tengah secara lebih intensif. Bagaimanapun, Arab Saudi dan Iran merupakan
aktor utama yang merepresentasikan peta aliansi yang saling bersitegang dalam banyak
kepentingan geopolitik. Sejak pemutusan hubungan diplomatik pada awal 2016,
Arab Saudi dan Iran telah banyak terlibat dalam menyulut bara api yang tersebar
di berbagai tempat. Perang proksi antar keduanya berlangsung di mana-mana. Yaman
dan Suriah adalah gelanggang terbesar bagi pertarungan keduanya, serta ditopang
oleh kekuatan utama global seperti AS dan Rusia.
China menyadari betul bolong-bolong yang tak mungkin
bisa ditambal oleh AS dalam menyikapi persoalan menahun antara Arab Saudi dan
Iran. Sebab, kebijakan luar negeri AS melihat Iran sebagai musuh dan ancaman
serius bagi entitas Israel di kawasan. Sehingga Iran tak akan pernah menganggap
AS sebagai kekuatan global yang netral dalam soal perundingan. Belum lagi,
jejak panjang ketegangan dan perang urat syaraf antara Iran-AS tak terhitung
jumlahnya.
Oleh karena itu, China yang melihat ketegangan di
Timur Tengah sebagai peluang untuk memperkuat pengaruhnya, sangat aktif
melakukan langkah-langkah diplomatik tingkat tinggi untuk menginisiasi
rekonsiliasi antara Arab Saudi dan Iran. Pelan dan pasti, tak hanya Arab Saudi
dan Iran yang merapatkan diri ke pangkuan China, melainkan juga sejumlah negara-negara
lain di Timur Tengah dan Afrika.
Tercapainya kesepakatan antara Arab Saudi dan Iran
untuk kembali ke jalur diplomasi, tidak bisa dipisahkan dari kunjungan Xi
Jimping ke Arab Saudi pada Desember lalu untuk menghadiri KTT China-Arab Teluk.
Dalam KTT tersebut, China telah menegaskan komitmennya untuk terus memperkuat
hubungannya dengan negara-negara Teluk sebagai mitra strategis bagi keberlangsungan
energi China di masa depan. Bahkan Xi Jimping dijamu dengan sangat mewah oleh
Arab Saudi sebagai tuan rumah, sangat berbeda dengan penjamuan presiden AS, Joe
Biden yang sebelumnya juga melakukan kunjungan ke Arab Saudi untuk membahas
isu-isu strategis.
Negara-negara Teluk yang merupakan aliansi utama AS
kini mulai mencari keseimbangan baru menghadapi dinamika geopolitik terkini.
Tatanan dunia tak lagi unipolar. AS bukan lagi menjadi satu-satunya kekuatan utama
dunia. Cengkeraman hegemoni AS dan sekutu-sekutunya di berbagai wilayah kian
melemah. Mungkin AS masih akan tetap menjadi salah satu kekuatan terkuat dunia,
tetapi bukan lagi satu-satunya. Buktinya, Arab Saudi yang selama ini selalu setia
pada kebijakan luar negeri Gedung Putih, tampak sangat terusik semenjak sang putra
mahkota, Muhammad bin Salman diserang Joe Biden soal kasus pembunuhan Jamal
Khashoggi beberapa tahun lalu.
Bahkan Presiden ke-46 AS itu juga sempat menyuarakan
ancaman yang akan berdampak cukup serius pada hubungan dekat antara AS dan Arab
Saudi, pasca OPEC+ bersepakat untuk mengurangi target produksi minyak mentah
hanya 2 juta barel per hari. AS dan sekutunya khawatir kebijakan ini akan
mengganggu stabilitas pasar global, terlebih di tengah krisis berat yang
diakibatkan perang Rusia-Ukraina. Namun Arab Saudi justru bergeming. Arab Saudi
malah menunjukkan sikap tegasnya untuk tidak selalu tunduk pada AS dalam segala
persoalan.
Sebagai langkah taktis dan antisipatif, Arab Saudi
buru-buru mencari “suaka” ke wilayah Timur, yaitu China untuk menjalin hubungan
yang lebih intim dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi dan pertahanan. Praktis
langkah ini memaksa dunia untuk lebih terbuka melihat realitas baru bahwa
tatanan dunia sudah masuk ke fase multipolarisme, di mana kedaulatan dan
independensi suatu negara tidak lagi didikte oleh suatu kekuatan global yang tunggal.
Merapatnya Arab Saudi—bersama Iran—ke pangkuan China,
menyiratkan suatu pesan diplomatik yang nyaris tak bisa dibantah bahwa Arab
Saudi tak lagi menggunakan pendekatan konflik-konfrontatif dalam menyikapi berbagai
persoalan krusial di kawasan, terutama yang berhubungan langsung dengan rival
utamanya, Iran. Dengan dimediasi China, Arab Saudi dan Iran melangkah jauh
lebih maju untuk terus mengedepankan komunikasi diplomatik antar kedua negara.
Meski proses dan jalannya tidak akan mudah dan pasti akan menghadapi banyak
hambatan, tetapi sikap kedua negara rival ini patut terus didukung.
AS tidak akan pernah mampu menjadi mediator yang
netral dalam berbagai ketegangan dan konflik di Timur Tengah, sekalipun ia
punya sumber daya ekonomi dan militer terkuat. Terlalu banyak noda merah serta
kerusakan yang ditimbulkan oleh kebijakan luar negeri AS selama beberapa dekade
terakhir. Bahkan hingga kini, banyak luka-luka yang masih menganga, jauh dari
kata pulih. Maka sangat wajar ketika banyak negara Timur Tengah frustrasi, lalu
mencari perdamaian ke negeri China. Wallahua’lam.