(Catatan "Perseteruan" Saya dengan Seorang Syarifah yang Berujung Pemblokiran Seluruh Akun Medsos Saya)
Pada 13 Mei 2023, saya ngetwit (semenjak Twitter menjadi X, istilah "twit" sudah berubah menjadi "posting") begini:
"Kabilah Quraisy tidak banyak melahirkan para penyair. Hassan bin Tsabit yang dianggap sebagai penyair Nabi paling hebat bukan dari Quraisy, melainkan dari Khazraj. Dan yang mengalahkan para penyair Quraisy di era Nabi adalah Hassan bin Tsabit. Dalam kepenyairan, Quraisy lemah!"
Tentu saja yang saya maksud sebagai penyair bukan sekadar orang yang menggubah puisi, melainkan penyair unggulan yang reputasinya diakui oleh para kritikus ternama.
Cuitan tersebut lalu saya posting di story Instagram. Tak lama kemudian, seorang teman yang merupakan seorang syarifah (sebut saja Syarifah X) membalas story tersebut dengan bantahan yang sangat serius. Saya pun semakin antusias. Jujur saja, momen semacam ini memang selalu saya nantikan. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada pertukaran ide dan gagasan, atau koreksi bahkan sanggahan terhadap suatu pandangan.
Jangankan suatu bidang yang tidak saya pahami sama sekali (sebut saja masalah nasab, misalnya), bidang yang cukup intens saya tekuni sekalipun, seperti kajian sastra dan kebudayaan Arab klasik, nyatanya masih menyisakan banyak sekali ruang gelap yang tak sepenuhnya saya tahu. Saya selalu meyakini bahwa keterbatasan itu nyata, dalam segala hal. Itulah sebabnya saya selalu menyiapkan dada yang lapang untuk menampung segala kritik dan pandangan yang berbeda. Bagi saya, ikhtiar melapangkan dada adalah sebaik-baik cara untuk menundukkan sikap-sikap arogan.
Saya dan Syarifah X sama-sama punya minat pada puisi Arab klasik. Kami juga menekuni tokoh-tokoh yang sama, sebut saja al-Mutanabbi, al-Ashma’i, al-Jahidh, dan masih banyak nama lainnya. Kami dulu sering berdiskusi banyak hal seputar sastra Arab dan saling berbagi bahan bacaan. Tapi itu dulu, sebelum pintu silaturrahim ia tutup dengan alasan yang sangat konyol dan naif: anti-intelektualisme!
Jadi begini..
Pertama, Syarifah X membantah cuitan saya tersebut dengan mengatakan bahwa kabilah Quraisy tidak seperti yang saya sebutkan. Menurutnya, Quraisy punya banyak penyair yang diakui kehebatannya. Ia menyebut Abu al-Thayyib al-Mutanabbi dan al-Fadhl bin al-Abbas bin Utbah, dua penyair dari zaman yang berbeda sebagai representasi Quraisy. Sampai di sini saya mulai merasa aneh, sejak kapan al-Mutanabbi, penyair dari Abbasiyah disebut seorang Quraisy?
Memang Syarifah X memilih ungkapan yang tidak terlalu eksplisit dengan menyebut “al-Mutanabbi dikatakan juga Quraisy menurut beberapa riwayat (seluruh bukti percakapan sudah saya simpan beserta hasil tangkapan layarnya)”. Dalam literatur biografi yang selama ini saya baca, tak pernah saya temukan satupun riwayat yang menyebutkan bahwa nasab al-Mutanabbi terhubung ke Quraisy, kecuali saya tidak tahu.
Latar belakang al-Mutanabbi banyak disebutkan dalam berbagai sumber, salah satunya dalam al-A’lam karya Khairuddin al-Zirikli (w. 1976 M.) (al-Zirikli, 2002, hlm. 115):
أحمد بن الحسين بن الحسن بن عبد الصمد الجعفي الكوفي الكندي، أَبو الطيب المتنبي: الشاعر الحكيم، وأحد مفاخر الأدب العربيّ. له الأمثال السائرة والحكم البالغة والمعاني المبتكرة. وفي علماء الأدب من يعده أشعر الإسلاميين. ولد بالكوفة في محلة تسمى كندة وإليها نسبته.
"Ahmad bin al-Husain bin al-Hasan bin Abd al-Shamad al-Ju'fi al-Kufi al-Kindi, Abu al-Thayyib al-Mutanabbi, seorang penyair yang bijaksana, dan salah satu tokoh yang paling membanggakan dalam sastra Arab. Al-Mutanabbi memiliki banyak amtsal (peribahasa) yang terkenal, hikmah yang mendalam, dan makna-makna yang inovatif. Di kalangan para pakar sastra, ada sejumlah tokoh yang menganggapnya sebagai penyair terbaik dalam Islam. Ia lahir di Kufah, di sebuah daerah yang disebut Kindah, dan kepada Kindah (al-Kindi) ia dinisbatkan."
Nisbat al-Kindi pada nama al-Mutanabbi membuat beberapa orang mungkin mengira bahwa ia dari kabilah Kindah. Padahal, nisbat al-Kindi tersebut tidak mengacu kepada asal-usul nasabnya, melainkan pada tempat kelahirannya di kawasan yang dihuni oleh kabilah Kindah di Kufah. Sedangkan nisbat yang mengacu kepada nasabnya adalah al-Ju’fi, yaitu Ju’fi bin Sa’ad al-‘Asyirah bin Madzhij bin Kahlan bin Qahthan. Meski al-Mutanabbi lahir di Kufah, tapi leluhurnya berasal dari Yaman. Hal itu pula ditegaskan oleh Ibnu Katsir (w. 1374 M.) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah yang menyebut “Nasab al-Mutanabbi berasal dari Ju’fi.” (Katsir, 1991, hlm. 257).
Nasab dan leluhur al-Mutanabbi diketahui secara masyhur. Kendati demikian, ia hidup sebagai seorang yang independen dan tak tertarik untuk menyebut apalagi membangga-banggakan para leluhurnya. Pada suatu kesempatan, al-Mutanabbi mengungkapkan keengganannya untuk menjawab asal-usul nasabnya ketika ayah Abu Ali al-Muhsin al-Tanukhi menanyakannya, "Aku adalah seorang lelaki yang melanglang buana di antara suku-suku dan menjelajahi padang pasir seorang diri. Jika berafiliasi dengan suatu suku, maka aku tidak akan aman dari sebagian orang Arab untuk mencelakaiku karena permusuhan antara mereka dan suku yang aku ikuti. Selama aku tidak berafiliasi dengan siapa pun, aku bisa menyapa semua orang dan mereka akan takut pada lidahku." (al-Baghdadi, 2001, hlm. 166).
Puisi terkenal al-Mutanabbi soal sikap independennya sekaligus kritik terhadap kalangan yang terlalu mengglorifikasi nasab leluhur tercermin dari bayt (larik) berikut (Dhaif, t.t., hlm. 343):
لا بقومي شرفت بل شرفوا بي
وبنفسي فخرت لا بجدودي
Aku menjadi mulia bukan karena kaumku, justru kaumku menjadi mulia karena aku
Aku bangga pada diriku sendiri, bukan pada leluhurku
Pertanyaan saya untuk Syarifah X, bisakan Anda tunjukkan pada saya sebuah rujukan yang menyebut al-Mutanabbi seorang Quraisy, setidaknya “menurut beberapa riwayat” yang Anda katakan itu?
Nama berikutnya yang disebut oleh Syarifah X adalah al-Fadhl bin al-Abbas bin Utbah bin Abi Lahab. Siapa penyair satu ini? Dia adalah keturunan Bani Hasyim pertama yang memuji-muji Daulah Umayyah setelah berbagai prahara politik yang terjadi antara Bani Hasyim dan dan Bani Umayyah. Ia pun menggubah puisi madah kepada Abdul Malik bin Marwan, khalifah ke-5 Daulah Abbasiyah. Karena puisi madahnya itu, al-Fadhl sangat dihormati oleh Abdul Malik bin Marwan.
Al-Fadhl bin al-Abbas memang penyair hebat dan salah satu penyair terbaik dari Bani Hasyim. Tapi menurut al-Marzubani, level kepenyairan al-Fadhl bin al-Abbas masih di bawah level penyair unggulan sezamannya, sebut saja al-Farazdaq dan al-Ahwash al-Anshari (al-Marzubani, 2005, hlm. 219). Kedua penyair tersebut dikenal sebagai penyair papan atas yang mewakili era penyair Islam. Hanya saja, Ibnu Sallam al-Jumahi menempatkan al-Farazdaq sebagai penyair unggulan tingkat pertama, sedangkan al-Ahwash al-Anshari masih jauh di bawahnya, yaitu tingkal keenam (Ibnu Sallam membuat klasifikasi penyair unggulan era Islam dari tingkat pertama sampai tingkat kesepuluh).
Lebih jauh, Ibnu Sallam justru mengungkap sisi lemah puisi al-Fadhl bin al-Abbas (al-Jumahi, t.t., hlm. 75) berikut:
عبد شمس أَبي فإن كنت غضبى
فاملئي وجهك الجميل خدوشا
Abdu Syams adalah leluhurku, jika engkau marah
Maka penuhi wajah cantikmu dengan goresan
وأبي هاشم هما ولداني
قومس منصبي ولم يك خيشا
Hasyim juga leluhurku, mereka berdualah yang melahirkanku
Pangeran adalah pangkatku, bukan seorang rendahan
Menurut Ibnu Sallam, puisi tersebut mengandung “sinaad” (salah satu jenis aib dalam puisi Arab), yaitu perbedaan qafiyah atau rima, seperti نقيب, عيب, قريب, شيب, dan seterusnya. Puisi al-Fadhl bin al-Abbas mengandung qafiyah yang berbeda, yaitu خدوش dan خيش. Huruf terakhir (syin) dari kata/qafiyah pertama, خدوش didahului huruf wawu, sedangkan huruf terakhir (syin) dari kata/qafiyah kedua, خيش didahului huruf ya’. Mungkin bagi Ibnu Sallam, jika seorang penyair memungkasi larik pertamanya dengan qafiyah yang huruf terakhirnya didahului wawu, yaitu خدوش, maka qafiyah larik berikutnya harus diakhiri dengan kata yang sama, misal بخوش, جؤوش, بؤوش dan seterusnya, bukan malah diakhiri dengan خيش, kata yang huruf terakhirnya didahului huruf ya’.
Dalam ilmu qafiyah, sinaad tersebut masuk kategori radf, dan puisi al-Fadhl di atas masuk kategori radf wawu, karena qafiyah pertamanya adalah huruf yang terdiri dari wawu. Dan setahu saya, radf wawu dan radf ya’ tidak mengharuskan konsistensi. Jika qafiyah bait pertama menggunakan radf ya' atau radf wawu, maka qafiyah berikutnya tidak harus sama dan konsisten. Artinya, qafiyah dengan radf ya' dan radf wawu bisa diselang-seling, asal tidak diselang-seling dengan radf alif. Tetapi jika qafiyah bait pertama menggunakan radf alif, maka qafiyah berikutnya harus sama dan konsisten. Contoh, ketika seorang penyair mengakhiri larik pertama dengan أداش, maka larik selanjutnya harus berqafiyah dengan kata yang kurang lebih sama, semisal براش, أواش, حباش, dan seterusnya.
Saya tidak membantah bahwa al-Fadhl merupakan salah satu penyair terbaik dari Bani Hasyim, kabilah Quraisy. Ali bin Abi Thalib juga mengakui kepenyairan al-Fadhl, meski hanya dalam level kabilah, bukan level bangsa Arab secara umum, “Kau (al-Fadhl) adalah penyair Quraisy paling unggul.” (al-Munqiri, 1990, hlm. 417). Saya hanya mengatakan bahwa dia bukanlah penyair unggulan dengan para penyair sezamannya atau para penyair di luar kabilah Quraisy. Menurut penilaian saya? Bukan, melainkan menurut para kritikus yang sudah saya kemukakan. Dengan demikian, maka Abu al-Thayyib al-Mutanabbi dan al-Fadhl bin al-‘Abbas adalah dua nama yang gagal dijadikan sampel sebagai penyair unggulan dari Qurasiy. Bahkan Syarifah X gagal mengidentifikasi al-Mutanabbi sebagai Quraisy.
Untuk memperkuat argumen tersebut, saya mengutip pendapat Mushthafa Shadiq al-Rafi’i (al-Rafi’i, 2017, hlm. 318) yang menurut saya cukup keras soal isu ini:
وأول القبائل التي وضعت الشعر في الإسلام، قريش، وكانت أقل العرب شعرًا وشعراء -لأسباب نذكرها في الكلام على الشعر- فإنها لما تعاضهت واستبت وكذب بعضها على بعض أول العهد بالإسلام حين كان منها المسلمون ومنها القاسطون ومنها دون ذلك، وضعوا على حسان بن ثابت أشعارًا كثيرة لا تليق به ولا تجوز عليه، وما نرى العرب إلا أخذت أخذها في ذلك من بعد.
"Kabilah pertama yang melakukan pemalsuan puisi di era Islam adalah Quraisy. Quraisy merupakan kabilah yang paling sedikit memproduksi puisi dan melahirkan para penyair—untuk sebab-sebab yang kami jelaskan di pembahasan tentang puisi. Ketika Qurasiy saling bermusuhan dan berselisih, serta saling berbohong satu sama lain, pada awal Islam, ketika di antara mereka (Quraisy) sudah ada yang masuk Islam, ada yang menyimpang (kafir), dan ada pula yang tidak masuk Islam dan tidak juga menentangnya, kalangan Quraisy memalsukan banyak puisi atas nama Hasan bin Tsabit yang tidak pantas dan tidak patut untuknya. Dan kami tidak melihat suku-suku Arab lainnya kecuali mereka mengikuti jejak Quraisy dalam memalsukan puisi setelahnya."
Tapi apa tanggapan Syarifah X setelah saya menyebut pendapat al-Rafi’i ini? Yang bersangkutan malah dengan enteng mengatakan “Dan ini (al-Rafi’i) nama gak terkenal sama sekali sih.” Pertanyaan saya, apakah al-Rafi’i tidak cukup otoritatif untuk dijadikan rujukan dalam sastra Arab? Kalau memang tidak cukup otoritatif, bisakah Anda menyebutkan alasannya secara detail? Pertanyaan saya yang lebih sederhana lagi, sudahkah Anda membaca Tarikh Adab-nya?
Tapi okelah, anggap saja al-Rafi’i adalah sosok yang “tidak terkenal sama sekali, sebagaimana yang bersangkutan yakini. Kalau begitu, mari saya bawa Anda kepada tokoh lain, yaitu Jawad Ali (Ali, 1993, hlm. 431). Semoga kali ini Anda tidak meremehkan lagi.
وذكر الأخباريون أن العرب كانت تقر لقريش بالتقدم في كل شيء إلا في الشعر، فإنها كانت لا تقر لها به، حتى كان عمر بن أبي ربيعة، فأقرت له الشعراء بالشعر أيضًا ولم تنازعها. وقالوا: إن قريشًا كانت أقل العرب شعرًا في الجاهلية، فاضطرها ذلك أن تكون أكثر العرب انتحالا للشعر في الإسلام.
"Para sejarawan menyebutkan bahwa bangsa Arab mengakui keunggulan Quraisy dalam segala hal, kecuali dalam bidang puisi. Bangsa Arab tidak pernah mengakui keunggulan Quraisy dalam bidang puisi, hingga muncullah sosok Umar bin Abi Rabi'ah. Para penyair Arab lalu mengakui keunggulannya dalam puisi dan mereka tidak lagi mempersoalkan Quraisy. Para sejarawan juga mengatakan bahwa Quraisy adalah suku Arab yang paling sedikit memproduksi puisi pada masa Jahiliyah. Hal ini memaksa Quraisy menjadi suku Arab paling banyak memalsukan puisi di masa Islam."
Abdul Malik bin Quraib al-Ashma’i (w. 831 M.) menyebut Umar bin Abi Rabi’ah sebagai penyair yang nyaris seluruh gubahannya adalah puisi tentang wanita (al-Ashma’i, 1980, hlm. 18). Di kesempatan lain, al-Ashma’i juga menyebut Umar bin Abi Rabi’ah sebagai penyair “muwallad” yang bisa dijadikan hujah. Sebab, al-Ashma’i pernah mendengar Abu ‘Amr bin al-‘Ala’ berhujah dengan puisi Umar bin Abi Rabi’ah. “Umar bin Abi Rabi’ah adalah hujah (punya otoritas sebagai penyair).” Ucap Abu ‘Amar (al-Ashma’i, 1980, hlm. 16). Di sini saya hendak mengatakan bahwa Quraisy juga punya penyair hebat yang diakui oleh penyair Arab di luar Quraisy, yaitu Umar bin Abi Rabi’ah. Saya sangat mengakui itu. Tapi semua itu tidaklah cukup untuk membuktikan keunggulan otoritas kepenyairan Quraisy atas kabilah lainnya. Sehingga tetap saja, dalam bidang puisi, Quraisy memang lemah!
Dalam kepenyairan, kabilah Quraisy jelas sekali terjebak dalam inferioritas. Di satu sisi mereka tak ingin kalah dari kabilah lain, namun di sisi lain mereka memiliki banyak keterbatasan. Untuk menyiasati keterbatasan itu, kalangan Quraisy melakukan pemalsuan puisi (Ali, 1993, hlm. 694), sebagaimana yang ditegaskan Jawad Ali:
وذكر أهل الأخبار أن المنافسة التي كانت بين قريش والأوس والخزرج، أهل يثرب، دفعت أهل مكة إلى صنع الأشعار لتتغلب بها على الأنصار.
"Para sejarawan menyebutkan bahwa persaingan yang terjadi antara kabilah Quraisy, Aus, dan Khazraj (penduduk Yatsrib) mendorong penduduk Makkah untuk menciptakan (memalsukan) puisi supaya bisa mengungguli kalangan Anshar."
Itulah gambaran sekilas kontestasi puisi para penyair terdahulu yang melibatkan sentimen tribalisme. Tak cukup hanya itu, Jawad Ali lalu menyinggung betapa lemahnya Quraisy yang bahkan tak punya satu pun penyair Muallaqat (Ali, 1993, hlm. 695):
ولا نجد بين الشعراء البارزين من أصحاب المعلقات شاعرا واحدا هو من قريش. كذلك لا نجد من بين شعراء الطبقات المتقدمة من فحول الشعراء الذين قدمهم علماء الشعر على غيرهم شاعرا هو من أهل مكة. وهذا هو تفسير قول أهل الأخبار المتقدم، الدال على تأخر قريش بالنسبة إلى باقي العرب في قول الشعر، أما لو أخذنا قولهم المذكور، وصرفناه على أهل القرى، فإننا نجد مكة متقدمة فيه، لأنها أنجبت عددا لا بأس به من الشعراء بالقياس إلى الطائف، التي اشتهرت بشعر شاعرها "أمية بن أبي الصلت"، ولكنها لا تداني مكة في عدد من ظهر بها من الشعراء، وبالقياس إلى "نجران" وإلى قرى اليمامة. أما بالنسبة إلى يثرب، فقد برز بيثرب شعراء، هم أكثر عددا وشهرة من شعراء مكة.
"Kita tidak menemukan seorang pun penyair terkemuka dari para penyair Muallaqat yang berasal dari Quraisy. Demikian pula, kita tidak menemukan seorang pun penyair unggulan dari kalangan generasi awal yang diakui oleh para pakar puisi berasal dari Makkah. Inilah penjelasan dari pendapat para sejarawan terdahulu yang menyatakan bahwa dalam bidang puisi, Quraisy tertinggal dibandingkan suku Arab lainnya. Namun, jika kita perhatikan pernyataan para sejarawan tersebut ini dan memaknainya dalam konteks penduduk kawasan (ditinjau secara geografis), maka kita akan mendapati bahwa Makkah lebih maju dalam hal puisi. Pasalnya, Makkah telah melahirkan sejumlah penyair yang cukup banyak jika dibandingkan dengan Thaif yang terkenal dengan puisi pujangga mereka, Umayyah bin Abi al-Shalt. Akan tetapi, Thaif tidak mampu menandingi jumlah penyair di Makkah, termasuk juga jika Makkah dibandingkan dengan Najran dan sejumlah kawasan di Yamamah. Kalau dibandingkan dengan Yatsrib, banyak penyair dari Yatsrib yang bermunculan, yang secara jumlah dan reputasi mereka melampaui para penyair Makkah."
Secara geografis, Madinah menempati posisi paling unggul dibandingkan Makkah, Thaif, Yamamah dan Bahrain. Madinah memiliki 5 penyair papan atas, 3 dari Khazraj dan 2 dari Aus. Dari Khazraj ada Hassan bin Tsabit (Bani Najjar), Ka’ab bin Malik (Bani Salamah) dan Abdullah bin Rawwahah (Bani Harits). Dari Aus ada Qais bin al-Khathim (Bani Dhafar) dan Abu Qabs bin al-Aslat (Bani ‘Amr bin ‘Auf) (al-Jumahi, t.t., hlm. 215). Oh iya, Syarifah X langsung memblokir seluruh akun medsos saya setelah saya melampirkan tangkapan layar halaman Thabaqat-nya Ibnu Sallam yang membahas keunggulan Madinah atas Makkah ini.
Sebenarnya masih banyak tokoh lain yang mengatakan hal serupa. Saya bisa saja menyebutnya secara panjang lebar, tapi tidak sekarang. Saya yakin sekali catatan ini akan sampai kepada Syarifah X. Jika Syarifah X menganggap saya “menyimpang” dengan segala argumen yang saya paparkan, semoga yang bersangkutan menampakkan batang hidungnya dan meluruskan argumen saya. Jika pada akhirnya terbukti saya yang lemah dan payah, maka saya akan koreksi dan minta maaf. Sesimpel itu. Saya sadar diri, saya masih amatir.
Syarifah X yang saya maksud adalah orang yang sangat baik, cerdas, ramah dan dermawan. Teman-teman tongkrongan kami di Jogja kerap kali ditraktir beliau, bahkan sesekali kami di-GoFood-in malah. Sebaik itu emang. Saya hanya mengkritik yang bersangkutan soal sikap anti-intelektualisme gara-gara perbedaan pandangan. Tak lebih.
Terakhir, saya ingin menyampaikan pesan kepada Syarifah X lewat teman-teman saya, Faza Bina Al-Alim, Mirza Futaqi, Nurul Ulmi Mansur dan Mbak Muna (akun mbak Muna hilang) . Ini adalah pesan langsung dari kakeknya, Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (Dawud, t.t., hlm. 279):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ»
Artinya: "Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya lebih tiga hari. Barang siapa tidak bertegur sapa lebih tiga hari lalu meninggal dunia, maka ia akan masuk neraka." (HR. Abu Dawud).
Saya juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya kepada Syarifah X, karena berkat diskusi yang meskipun berujung pemblokiran seluruh akun medsos, saya berhasil menyiapkan draf buku berjudul “Menggugat Otoritas Kepenyairan Quraisy”. Atas segala hal yang menyinggung, saya minta maaf dari lubuk hati paling dalam.
Diposting pertama kali di laman Facebook pada tanggal 13 September 2024.
Tabik,
Musyfiqur Rahman