Penerjemah:
Musyfiqur Rahman
Judul
Asli: ‘Indamâ Yushbihu Al-Syaraf Gharîban
Dari
Buku: Qâlat
Karya:
Faruq Juwaidah
Qâlat,
“Kau tampak murung akhir-akhir ini.”
Qultu, “Situasi zaman sudah
tak cocok denganku. Sesuatu paling buruk adalah saat tak ada seorangpun
mendengarkan kita bernyanyi dan saat kita menghampar barang dagangan yang tak
satupun terbeli.”
Qâlat, “Lalu apa yang
sekarang kau jual?”
Qultu, “Kejujuran. Sebuah
komoditas yang tak lagi disenangi.”
Qâlat, “Mengapa kau
menyanyi?”
Qultu, “Aku bernyanyi untuk
menciptakan impian, impian yang hari ini terlarang bagi manusia. Terdapat ketetapan
yang melarang impian menjalar pada lubuk hati kita.”
Qâlat, “Kutahu pasti bahwa masalah para penyair, selalu berlebihan
dalam segala sesuatu. Saat bahagia mereka akan tampak terlalu bahagia, saat
murung mereka akan tampak lebih murung. Masalah kalian ada pada diri kalian,
para penyair. Bukan pada diri manusia.”
Qultu, “Benar masalah para
penyair ada pada diri mereka sendiri. Mereka menginginkan kejujuran justru di
zaman yang penuh kebohongan, menginginkan bersih dari kesalahan, menginginkan
puncak pegunungan dari pada lereng perbukitan, mengingkan amanah dari
tangan-tangan pencuri, dan menginginkan kebenaran. Sedangkan segala sesuatu di
sekitar kita, sejatinya tak pernah nyata.”
Qâlat, “Tidakkah cukup apa
yang telah kalian dapatkan; ketenaran, kemulian, dan cinta? Selebihnya, apa
lagi yang masih kalian inginkan?”
Qultu, “Kami sama sekali tak
menginginkan ketenaran, kemulian, dan cinta. Yang paling kami inginkan hanya
sosok manusia yang mampu menjangkau dan menyelami arti terdalam dari kejujuran,
kemuliaan dan kebajikan, manusia yang mampu membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, antara pencuri dengan orang-orang baik, antara para pelaku
kebajikan dengan sekawanan begal. Kami mengingkan manusia yang hidup di
tengah-tengah kami. Karena zaman ini adalah zaman para tukang begal.”
Qâlat, “Dalam hidup memang
ada hitam dan putih. Justru manusia harus bisa membedakan keduanya. Sebagaimana
kebenaran dan kebatilan, manusia masih bisa membedakan. Para begal hanya
terdiri dari beberapa individu, sedangkan orang-orang baik jumlahnya jutaan.
Namun menjadi hal paling buruk manakala siang hanya sesaat dan malam kian
panjang. Lalu orang baik menjadi asing, orang terpercaya kian tersisihkan.
Sedangkan para begal tersebar di berbagai tempat. Jika kita tak mampu mengubah
kehidupan, maka kita harus berusaha meski sedikit. Kita tidak boleh kehilangan
kepekaan atas kemulian usaha. Lalu jika kita gagal, kita harus tetap hidup
sebagaimana yang kita inginkan, bukan seperti yang sudah digariskan.”
Qâlat, “Lalu bagaimana kamu
akan hidup?”
Qultu, “Aku akan berusaha
untuk tidak berlebihan dalam kejujuran, untuk tidak memupuskan rasa iman bahwa
rerumputan tidak akan pernah menjelma pohon kurma, dan para begal tidak akan
pernah menjadi nabi. Di zaman edan ini, berpegang teguh pada kebajikan masih
menjadi sesuatu paling berharga.”