Orang-orang
modern seperti sekarang, di tengah kebebasan yang terus didengungkan dan HAM
dijadikan tolak ukur segala ekspektasi kekinian, maka tatanan sudah tak lagi menjadi
pedoman. Kegelisahan sudah bukan lagi perjalanan batin menuju kebenaran.
Kompleksitas tak lagi memiliki arti, ketimpangan sosial pecah tak lagi menjadi
soal. Sebab manusia, sudah benar-benar "murtad" dari segala tatanan
nilai, atau barangkali justru manusia seolah baru terlahir dari rahim kehidupan
tanpa nilai. Manusia telah kerasukan iblis dan setan yang selalu menyesatkan.
Manusia selalu bertahan. Tetapi nyatanya, tetap saja kesurupan. Manusia benar-benar
telah dipenggal oleh obsesi kemajuan.
Seolah
bukan lagi persoalan menghindari kematian dengan kematian. Prinsip bertahan
hidup dengan menikam. Eskploitasi besar-besaran sudah sempurna menjadi
perlombaan. Lihatlah, kawan! Hukum rimba sudah berpindah dari belantara hutan,
menjadi ajang pementasan yang diperankan oleh para setan, lalu menghampakan
nilai-nilai kemanusiaan. Adalah si kuat yang menang dan tentulah si lemah yang
tumbang. Kalaupun masih mampu bertahan, barangkali itu karena keajaiban, atau
karena Tuhan sedang berbaik hati memanjangkan tangan.
Masih
belum puas manusia menciptakan garis takdirnya sendiri, mereka lalu berpacu
dengan waktu. Seolah hendak menembus realitas tanpa batas, mereka bangkit dari puncak
kegelisahan untuk melaksanakan segala kehendak untuk berkuasa, berkuasa pada
realitas semesta jagat raya, berkuasa pada materi, berkuasa pada ruang dan
waktu. Jika realitas tersebut telah mereka kuasai, barangkali sains dan segala
kemajuan lainnya akan benar-benar dicampakkan. Sebab kegelisahan sepanjang
sejarah kemanusian, telah terwujud dan menjadi kenyataan.
Namun
kapan itu akan terjadi?
Ah,
kita yakini saja, sebelum usia paripurna, atau semesta ini binasa, kiranya kita
tak boleh putus asa.
Lihatlah,
kawan! Masa depanmu begitu sangat suram. Bumi kita kian tertekan. Manusia
terlalu banyak meraup keuntungan. Babak baru segala pertaruhan telah
benar-benar dimulai. Turunlah ke lapangan atau jadilah penonton yang hanya
mampu berdaulat dengan bertepuk tangan. Ah, benar. Masa depan kita akan lebih
rumit dari segala kompleksitas persoalan. Ah, tidak. Masa depan bukan kita lagi
yang akan memainkan peran penting. Kita hanya menjadi penentu saja. Ah, sombong
sekali kedengarannya. Seolah ramalan masa depan sedang terkapar tak berdaya,
lalu kita datang dengan gaya pecundang yang penuh tipu daya, sambil lalu
berharap banyak padanya, bahwa masa depan sesudah kita akan menjadi masa depan
penuh gairah keingintahuan, melebihi segala keinginan untuk menerobos
tabir-tabir Tuhan. Tujuan hidup sudah berdasarkan kalkulasi logis dan
pragmatis. Lihatlah yang kemudian menjadi Dewa adalah segala keajaiban saintis.
Ingat,
kita telah membiarkan hati tak berdaya hingga kita buta diri. Hati adalah tolak
ukur segala semesta pada diri. Hati adalah cermin bagi serpihan-serpihan
perenungan sejati. Hati adalah kekuatan. Hati adalah kebaikan. Hati adalah
pancaran. Hati adalah dunia paling bijaksana. Hati adalah cinta. Hati adalah
tempat berlabuh dan berteduh. Hati adalah kehidupan.
Ketika
kita sadar, masa depan kita terasa pudar...