Judul
buku:
Kebijaksanaan Orang-orang Gila
Judul
asli:
'Uqala' Al-Majanin
Penulis: Abu Al-Qasim
An-Naisaburi
Penerjemah: Zainul Maarif,
Lc., M.Hum
Penerbit: Wali Pustaka,
Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret
2017
Tebal: 447
ISBN:
978-602-74064-6-9
Peresensi: Musyfiqur Rahman
Terasa ada yang aneh ketika
kebijaksanaan dikaitkan dengan orang-orang gila. Apalagi, definisi gila sendiri
seringkali mengelabui pemahaman kita. Sebab, sejatinya tak ada yang benar-benar
bisa memastikan seseorang itu gila ataupun waras hanya dengan melihat tampang
luarnya saja.
Dalam lintas sejarah, kita akan banyak
mengenal tokoh-tokoh hebat yang (pernah) digilakan oleh komunitasnya. Sebutlah
satu contoh saja, yaitu Muhammad, dituduh gila karena risalah yang dibawanya
dianggap "salah" dan berseberangan dengan keyakinan masyarakat Mekah
waktu itu. Tak hanya (berupa) tuduhan yang diarahkan kepada pemungkas para nabi
itu, melainkan akibat ke"gila"annya itu, ia harus menanggung—bersama
para pengikut setianya—derita karena mengalami pengasingkan. Sehingga dengan
melihat konteks sejarah nabi Muhammad, kegilaan itu sejatinya bukan masalah
bagaimana seseorang mengalami gangguan mental, tetapi lebih kepada eksistensi
yang anti-mainstream di tengah komunitasnya.
Tentu saja Abu Al-Qasim
An-Naisaburi—melalui bukunya ini—telah berhasil membebaskan kungkungan
perspektif kita tentang kegilaan yang selama ini kita asumsikan hanya
berdasarkan pada satu aspek saja. Sehingga ketika kita membaca buku ini, terasa
ada kekuatan baru yang mempu menyegarkan perspektif kita tentang orang-orang
gila hingga pada titik kulminasi tertentu yang seolah tak pernah terbayangkan
sebelumnya.
Intisari dari penulisan buku ini—oleh
penulis kenamaan sebagai mufasir, sastrawan, dan ahli ilmu qiraat—adalah
pemaknaan terhadap peribahasa Arab terkanal yang berbunyi "Khudz
al-hikmah walau min dubur ad-dajaj (Ambillah hikmah meskipun yang keluar
dari pantat ayam)."
Sejatinya tak ada alasan bersikap apatis
pada apapun dan siapapun untuk mengais hikmah dan berkah. Tidak selamanya
kebijaksanaan itu harus diperoleh dari seorang guru, kyai, ulama, darwis, tokoh
masyarakat dan lain sebagainya. Sebab semua itu hanyalah perantara yang Tuhan
ciptakan. Sedangkan kita tidak dalam rangka selalu memperbincangkan suatu
perantara menuju akhir perjalanan, melainkan tujuan pencapaian hakiki yang
diridhai dan diberkahi.
Melaui 500 kisah muslim genius yang
digilakan oleh sejarahnya, sebagaimana dirangkum dengan sangat sistematis oleh
Abu Al-Qasim di sini, kita bisa melakukan rekonstruksi paradigma, dengan
menyusun kembali kepingan-kepingan asumsi untuk ditata lagi, yang sejak awal
tak berpijak pada orientasi yang pasti dalam menyikapi segala persoalan,
termasuk juga persoalan terkait dengan orang-orang di sekitar kita yang
dianggap gila. Hal itu kemudian menjadi sangat penting agar kita bisa memulai
kembali dengan menyegarkan cara berpikir secara utuh, menyeluruh dan lebih
terarah.
Di dalamnya kita akan banyak menemukan
kisah keteladanan yang berisikan pedoman. Penting sebagai bahan kajian dan
evaluasi bagi masyarakat modern sepeti sekarang. Ketika gaya hedonistik menjadi
tolak ukur utama segala lini kehidupan. Sebagaimana Michael Foucault, filsuf
Perancis kontemporer dalam bukunya yang berjudul Folie et Déraison,
menegaskan bahwa dalam hal vonis kegilaan, ada subjektivitas terstruktur
sebagai suatu produk pengetahuan yang memiliki superioritas tertentu. Tentu
saja pembelaan yang diberikan oleh Michael kepada orang-orang gila—dalam
lintasan sejarah kemanusiaan—adalah upaya kritik-konstruktif bagi masyarakat
kontemporer agar masalah kegilaan tak hanya dipandang sebelah mata dan dengan
hanya berpedoman pada kulitnya saja.
Sedangkan apa yang dilakukan oleh Abu
Al-Qasim, sejak 1.000 tahun yang lalu dengan mencurahkan pengamatannya dalam
melihat, mamantau, menelaah, dan mengkaji hingga memberikan kesimpulan tentang
orang-orang gila pada zamannya, sungguh adalah usaha luar biasa hebat yang
tidak pernah dilakukan oleh siapapun sebelum dan sesudahnya. Bahkan dalam buku
aslinya, 'Uqala Al-Majanin memiliki kelebihan tersendiri karena rantai sanad
periwayatan kisah-kisah tersebut sangat akurat dan lengkap hingga penutur
pertama. Dan dengan berbagai pertimbangan, mata rantai periwayatan tersebut
pada buku (tejemahan) ini tidak disertakan.
"Aku lihat setiap orang tahu aib
orang lain, tapi buta pada aib yang ada pada dirinya. Tidak elok orang yang
samar terhadap aibnya sendiri, tapi jelas buatnya aib saudaranya. Bagaimana
mungkin aku melihat aib orang lain, sedangkan aibku sendiri menganga. Tidak ada
yang tahu akan keburukan-keburukan orang lain kecuali orang bodoh."
(Halaman 64).
Syair di atas berkenaan dengan kisah Abu
Atha' Said Al-Majnun, atau lebih dikenal dengan Sa'dun si Gila. Dikisahkan oleh
Atha' bahwa pada suatu hari Sa'dun berjemur di bawah sinar matahari dan
auratnya terbuka. Lalu Atha' berkata kepadanya, "Tutuplah, wahai orang
bodoh!" Sa'dun berkata, "Bukankah engkau juga memiliki yang seperti
ini?" Atha' membenarkannya. Lalu beberapa hari kemudian, Sa'dun lewat di
depan Atha' yang sedang makan buah delima di pasar, lalu Sa'dun menjewer
telinganya sambil berkata, "Siapa yang bodoh anatara kita? Aku atau
kamu?" Lantas Sa'dun bersyair sepeti syair di atas.
Bahkan jika ke-aku-an pada diri manusia
dalam bingkai egosentrisme dilepaskan seutuhnya, maka akan didapati sebuah
kesimpulan bahwa sejatinya semua manusia itu "gila" atau meng”gila”,
hanya kadar dan tingkatnya saja yang berbeda. Sehingga boleh jadi orang yang
mengklaim dirinya waras tak lebih waras dari pada orang yang dianggapnya gila.
Kalau boleh dikata, banyak orang gila mempu berjalan di tengah kegelapan tanpa
penerangan, sedangkan orang waras tidak mampu berjalan sekalipun di bawah
penerangan. Inilah ironi hidup ini.
Sehingga ada peribahasa yang menyatakan,
"Orang gila itu tidak akan menyembunyikan kegilaannya. Berbeda dengan
orang waras yang selalu menutupi kegilaannya dengan hal-hal yang seolah-olah
wajar." Sekali lagi, memahami kegilaan itu, tak saja cukup hanya dengan
berbagai perangkat kecerdikan, tapi butuh kedalaman kesedaran.