Fenomena amoralitas yang kerap kali terjadi tengah
masyarakat kita dengan berlindung di balik simbol dan retorika agama
menyuguhkan sebuah ironi besar dalam sejarah peradaban manusia, termasuk dalam
tradisi Islam. Seharusnya, agama menjadi landasan untuk membangun etika dan
moralitas, namun dalam banyak kasus, ia justru disalahgunakan untuk membenarkan
tindakan-tindakan yang berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
sejati.
Dalam konteks ini, penyalahgunaan agama sering
kali muncul dalam bentuk pembenaran terhadap kekerasan, diskriminasi, dan
ketidakadilan sosial, yang seolah-olah dilindungi oleh klaim-klaim agama yang digemakan
dengan penuh keyakinan. Ironisnya, banyak pihak yang mengklaim bahwa mereka
bertindak atas nama agama, padahal tindakan mereka justru mengingkari
prinsip-prinsip dasar agama itu sendiri, seperti kasih sayang, keadilan, dan
persaudaraan. Fenomena ini menggambarkan bagaimana agama bisa dipolitisasi dan
dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu, sementara ajaran-ajaran
aslinya sering terabaikan.
Sebagai respons terhadap hal ini, perlu dilakukan
refleksi mendalam terhadap teks-teks klasik Islam yang sarat dengan ajaran
moralitas dan etika. Dalam khazanah tersebut, kita tidak hanya menemukan
penekanan terhadap ritual keagamaan, tetapi juga penekanan yang kuat terhadap
pentingnya kebajikan sosial, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan
perlindungan terhadap individu yang lemah. Oleh karena itu, kita perlu menggali
kembali dan menghidupkan kembali ajaran-ajaran tersebut agar agama tidak lagi menjadi
alat pembenaran bagi tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan, tetapi
justru menjadi sumber pencerahan dalam upaya membangun masyarakat yang lebih
adil dan beradab.
Serial Bidaah
Dalam beberapa waktu terakhir, media sosial kita
dihebohkan oleh serial Bidaah. Serial Malaysia ini berhasil membuka
ruang diskusi yang sangat relevan, terutama terkait fenomena terkini di
masyarakat kita yang terus berkembang. Serial ini menggambarkan seorang tokoh
bernama Walid yang mengeksploitasi sastriwati untuk kepentingan pribadi dengan
menggunakan dalil-dalil dan retorika agama, menyentuh isu yang sangat sensitif
dan menyentil praktek-praktek agama yang seringkali disalahgunakan.
Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam cerita
fiksi, tetapi juga menjadi cerminan dari realitas sosial yang ada di tengah
masyarakat kita. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering kali mendengar
tentang para tokoh agama yang menggunakan posisi mereka untuk meraih keuntungan
pribadi, baik dari segi materi maupun kekuasaan. Misalnya, dalam beberapa
kasus, kita melihat bagaimana oknum-oknum yang mengatasnamakan agama atau
ajaran spiritual justru melakukan penyimpangan moral dan etika, mengeksploitasi
orang lain dengan dalih agama, dan bahkan merugikan banyak pihak yang percaya
pada mereka.
Serial ini seolah menjadi peringatan untuk kita
agar tidak hanya mengandalkan retorika agama yang menggebu-gebu, tetapi juga
menuntut kejelasan dan kebenaran dari apa yang diajarkan. Pemuka agama,
seharusnya, harus menjadi figur yang memberi contoh, bukan malah menjadi pihak
yang memanipulasi dan menyalahgunakan kepercayaan orang lain demi kepentingan
pribadi.
Tentu saja, dalam masyarakat yang terus
berkembang, kita harus semakin cerdas dalam memilih siapa yang layak kita ikuti
dan percaya. Kita juga harus mampu membedakan antara ajaran agama yang
sesungguhnya dan dalil-dalil yang hanya dipakai untuk kepentingan sesaat.
Inilah yang perlu disorot dalam fenomena yang ada di serial ini, karena hal
tersebut menggambarkan keresahan masyarakat tentang ketidakadilan yang mungkin
terjadi di balik topeng agama.
Bidaah bukan hanya sebuah cerita fiksi, tetapi
lebih dari itu, ia menjadi sebuah cermin bagi kita untuk lebih kritis dalam
melihat berbagai fenomena yang terjadi di sekitar kita. Serial ini memberikan
kita ruang untuk merenung dan mengevaluasi apakah kita sudah cukup waspada
terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang bisa merusak nilai-nilai agama yang
kita anut. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, kita dituntut untuk tidak
mudah terperdaya oleh kata-kata indah yang dihiasi dengan label agama, tetapi
untuk lebih jeli dan bijaksana dalam memahami makna di baliknya.
Ini adalah saat yang tepat untuk kita kembali
mengingatkan diri kita tentang prinsip-prinsip dasar agama yang murni dan tidak
diselewengkan oleh kepentingan pribadi. Jangan sampai kita terjebak dalam ilusi
yang dibangun oleh retorika yang keliru, dan terus menjaga integritas dalam
setiap langkah kehidupan kita.
Serial Bidaah ini harus menjadi bahan
refleksi yang mendalam bagi kita semua. Di tengah pesatnya perkembangan
teknologi dan informasi, kita semakin mudah terpapar dengan berbagai narasi,
termasuk yang mengatasnamakan agama. Tidak jarang, retorika yang tampak indah
dan memikat justru digunakan untuk menipu, membingungkan, atau bahkan
mengeksploitasi individu demi keuntungan pribadi. Hal ini menjadi semakin
penting untuk diwaspadai, terutama ketika agama—seharusnya menjadi sumber
ketenangan dan kebenaran—dalam kenyataannya dapat disalahgunakan untuk tujuan
yang jauh dari esensi sejatinya.
Masyarakat kita tidak lagi bisa membiarkan diri
terjebak dalam ikatan fanatisme buta yang melanggengkan manipulasi. Keberanian
untuk bertanya, untuk mencari kebenaran, dan untuk tidak mudah terpengaruh oleh
jargon-jargon yang disampaikan dengan dalih agama adalah langkah pertama menuju
kesadaran kolektif. Pemuka agama, yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran dan
keadilan, harus dituntut untuk mengedepankan integritas, kejujuran, dan
keteladanan, bukan malah meraup keuntungan dengan mengorbankan orang lain.
Fenomena seperti ini mengingatkan kita untuk lebih
kritis dalam menyaring informasi dan lebih bijaksana dalam memilih siapa yang
layak kita percayai. Dalam dunia yang semakin kompleks, kita harus lebih
berhati-hati dalam mempercayai segala hal yang dibalut dengan label agama,
karena di baliknya bisa saja tersimpan niat jahat yang merusak tatanan moral
dan sosial kita.
Akhirnya, semoga serial Bidaah ini bisa
menjadi titik awal bagi diskusi yang lebih luas tentang pentingnya kesadaran
masyarakat dalam menghadapi penyalahgunaan agama, agar kita tidak terperangkap
dalam dunia yang penuh dengan tipu daya, namun tetap dapat menemukan jalan yang
lurus dan sesuai dengan nilai-nilai agama yang benar dan sejati. Kita harus
terus menjaga agar agama tetap berada di jalur yang benar, menjadi sumber
kedamaian dan kebenaran, bukan sarana untuk meraih kepentingan pribadi atau
kelompok.